<$BlogItemBody>
Read more!

Monday, November 20, 2006

Konflik

Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan, dimana salah satu pihak berusaha untuk menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik timbul karena adanya ketidakadilan sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-hak indipidu dan adanya perbedaan ciri secara fisik atau non fisik pada setiap individu. Ciri fisik seperti perbedaan warna kulit, mata, rambut. Ciri non-fisik bisa berupa kepandaian, pengetahuan, keyakinan, kebudayaan, kepentingan dan sebagainya.
Pada tataran realitas perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa terelakan atau ditutup-tutupi dan dipendam, karena keberadaanya sudah menjadi sunatullah. Sehingga selama setiap individu atau kelompok mempermasalahkan perbedaan, selama itu pula konflik akan berlangsung. Maka sangat wajar sekali apabila konflik selalu hadir dalam masyarakat. Oleh karena itu yang menjadi persoalannya ialah bagaimana memfokuskan konflik tersebut kearah yang fositif; bukan negatif.
Secara positif, konflik dapat meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok ( ingroup ), memunculkan isu-isu dan harapan-harapan yang terpendam, memperjelas batas-batas dan norma-norma kelompok, serta mempertegas tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan secara negatif ialah konflik yang bersifat destruktif terhadap keutuhan kelompok dan integrasi sosial masyarakat dalam skala yang lebih luas, yang diakibatkan oleh tindakan yang melampai batas-batas toleransi dan kapasitas pihak-pihak yang terlibat, serta tidak dicarikannya solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak ( Jorgensen dan Hernandez ).
Jika dilihat dari kacamata teori, konflik -seperti yang dikemukakan oleh pakar teori- memiliki skema dua dimensi: interpretasi terhadap hasil tujuan yang ingin dicapai oleh satu pihak dan interpretasi terhadap hasil tujuan yang ingin dicapai oleh pihak lainnya. Dimana pengertian yang tinggi untuk hasil pihak A akan menghasilkan percobaan untuk memenangkan konflik baginya. Begitu juga sebaliknya, jika pengertian yang tinggi tersebut diperuntukan pada hasil pihak B akan menghasilkan percobaan untuk memenangkan konflik baginya. Namun jika diperuntukan untuk hasil kedua belah pihak, akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Sedangkan tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Sejarah perkembangan masyarakat dunia menunjukan bahwa sebagian besarnya tidak terlepas dari konflik ( intern ataupun ekstern, bertempo pendek maupun panjang ) yang telah menelan banyak korban. Konflik Vietnam -misalnya- yang terjadi antara tahun 1957-1975 antara kubu Vietnam Selatan ( Republik vietnam ) dan Vietnam Utara ( Republik Demokratik Vietnam ) telah menelan korban sekita 1.820.000 jiwa. Konflik Rwanda yang merupakan konflik yang diakibatkan oleh perseteruan antara 3 suku: Tutsi, Hutu, Twa membuahkan korban sekitar 1 juta jiwa. Konflik Irlandia Utara yang terkenal dengan sebutan "The Troubles" tahun 1969 yang disebabkan oleh perbedaan visi dan keyakinan antara pengtanut Katolik dan Protestan tidak sedikit telah menuai korban juga.
Pada umumnya konflik selalu cendrung bersifat negatif, karena pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki kepentingan yang berlawanan dimana masing-masing pihak enggan untuk mengalah, bahkan berusaha untuk memenangkan pihaknya saja sehingga pihak lain dianggapnya musuh yang harus disingkirkan.
Dalam hal ini perbedaan etnis dan keyakinan sering menjadi pemicu konflik sepeti ini. Tengok saja konflik yang terjadi di dalam negri seperti Kalimantan, Poso, dan Ambon berujung kepada pembunuhan satu sama lain. Konflik Palestina yang sering mengalami pasang surut merupakan konflik yang paling panjang dalam sejarah yang diakibatkan oleh perbedaan keyakinan. Dimulai pada akhir abad ke-11 yang ditandai dengan penyerangan tentara salib ( Kristen ) ke kota Yerusalem, sampai saat ini dimana tentara-tentara Israel ( Yahudi ) yang tanpa mengenal rasa prikemanusiaan terus-menerus membantai orang-orang Muslim Palestina.
Keyakinan merupakan kepercayaan yang absolut dan tidak bisa ditawar-tawar. Keberadaannyapun tertanam dalam hati yang akarnya menjalar keseluruh persendian jiwa dan raga. Dalam keyakinan: sesuatu yang absurd bisa jadi masuk akal, warna yang hitam bisa menjadi putih. Dengan keyakinan orang yang buta dan tuli bisa jadi melihat dan mendengar, orang yang biadab bisa jadi beradab atau yang beradab jadi biadab. Oleh sebab itulah konflik yang bersumber dari perbedaab keyakinan sangat sulit untuk dicarikan jalan keluarnya, karena dua kubu yang berlawanan selalu cendrung melihat objek dari sisi yang subjektif.
Namun Islam sebagai sebuah agama yang bersumber dari Allah yang Maha Esa mengajarkan pemeluknya agar mencintai kedamaian, tidak menyebar kebencian. Islam tidak memandang suku, ras, warna kulit merupakan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Islam menghormati para pemeluk lain yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengannya selama mereka tidak berbuat penindasan terhadap pemeluknya. Islampun tidak pemeluk lain untuk masuk kepadanya. Pemerintahan Islam yang memerintah di tanah Palestina adalah merupakan bukti bahwa Islam mencintai keadilan dan menghormati toleransi beragama. Mulai dari pemerintahan Umar bin Khattab, Shalahuddin al-Ayyubi dan sultan-sultan Ottoman semuanya telah menjadikan Palestina daerah yang tertib, aman dan tentram bagi seluruh rakyatnya yang beraneka ragam keyakinan ( Islam, Nasrani, Yahudi ). Namun sebaliknya pemerintahan kristiani ( tentara Salib ) atupun pemerintahan Yahudi ( Israel ) selama memerintah selalu saja membuat kekacauan, penindasan, pembunuhan terhadap penduduk yang tidak seiman dan seagama.
Fenomena ini akhirnya menyimpan tanda tanya besar. Kenapa orang-orang Nasrani dan Yahudi tidak henti-hentinya memusuhi, memerangi dan menindas Umat Islam? Salah satu jawabannya ada dalam ayat al-Quran 2 : 120 "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sehingga kamu mengikuti agama mereka." Sehingga mereka melancarkan segala cara untuk membiaskan ajaran Islam dari kebenaran. Hujatan demi hujatan terhadap Islampun terus menggelora diseantero penjuru dunia. Sebut saja Salman Rushdie dengan ayat-ayat setannya yang menghujat al-Quran dan Nabi Muhammad saw, Jyllands-Posten dengan gambar-gambar karikatunya yang melecehkan Nabi Muhammad, sampai kepada Paus Benediktus XVI dengan statemen anti Islamnya.
Itulah hujatan-hujatan yang tidak beralasan yang bersumber pada kebencian atau mungkin ketakutan terhadap Islam ( baca: Islamophobia ) dan seterusnya. Padahal kita, mereka atau siapapun yang memiliki hati yang bersih, tahu bahwa hujatan terhadap seseorang dengan tidak disertai suatu alasan yang benar bias menimbulkan konflik. Apalagi hujatan terhadap agama.
Konflik memang wajar adanya, namun kehadirannya selalu ditakuti karena ia sering berdampak kepada kebencian, dendam, saling curiga, kerusakan harta benda, bahkan hilangnya jiwa manusia.
( Nabil Abdurrahman )

Labels:

Strategi AS Membendung Gerakan Islam

Watak dasar negara-negara yang berideologi Kapitalisme adalah menyebarkan sekularisme. Metodenya berupa penjajahan (imperialisme), yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi kepada bangsa-bangsa yang dikuasainya untuk dieksploitasi. Dalam prakteknya, konsep dan metode politik tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk garis politik (khiththah siyâsiyah) dan strategi politik (uslûb siyâsî). Garis politik adalah politik umum yang dirancang guna mewujudkan salah satu tujuan yang dituntut oleh penyebaran ideologi atau metode penyebaran ideologi. Adapun strategi politik adalah berbagai cara yang diterapkan untuk mendukung perwujudan atau pengokohan garis politik.
Penyebaran sekularisme akan menjadi jalan paling mulus bagi AS untuk melanggengkan hegemoninya, khususnya di negeri-negeri Muslim. Oleh karena itu, AS terus berupaya dengan segala cara untuk memadamkan gerakan Islam yang mengusung agenda syariah dan Da`wah islam. Pasalnya, agenda demikian akan menjadi tembok penghalang yang kokoh bagi keberlangsungan dominasi AS.
Beberapa strategi sistematis AS untuk membendung gerakan Islam tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, isu demokratisasi dan HAM. Suatu konsekuensi logis bagi gerakan Islam yang memperjuangkan tegaknya syariah dan da`wah islam untuk menolak demokrasi. Sebab, standar nilai yang berasaskan demokrasi berbeda secara diametral dengan standar nilai yang disandarkan pada akidah dan syariah Islam. Dalam hal ini, AS berharap bahwa apabila masyarakat berhasil menerima ide demokrasi dan HAM maka akan tercipta kutub perlawanan dari masyarakat sendiri terhadap gerakan Islam tersebut. Dengan begitu, akan terjadi proses pengasingan secara sistematis terhadap gerakan Islam yang menolak sistem demokrasi.
Karena itu, AS telah menyebarkan ide demokrasi melalui berbagai sarana seperti pendidikan, media massa, dan lainnya. Mereka menghiasinya dengan berbagai modifikasi supaya bisa memasarkannya di tengah-tengah kaum Muslim. Dengan begitu, sifat asli demokrasi sebagai paham yang menggantikan Allah—sebagai Zat Yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu—berhasil diubah. Targetnya, kaum Muslim bisa menerima bahwa hukum syariah atau halal dan haram itu bisa diambil dari manusia atas nama demokrasi, dan bukan diambil dari Tuhan manusia; Allah.
Kedua, penghancuran pemikiran Islam lewat gagasan sekularisasi dan liberalisasi. Saat ini, di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim makin marak lembaga-lembaga kajian yang mengumandangkan gagasan sekularisasi dan liberalisasi. Secara ideologis, kelompok liberal ini bertujuan untuk menundukkan Islam pada peradaban dan ideologi Barat dengan cara merayu umat agar mau mengikuti peradaban Barat. Pada perang ideologi ini, kelompok liberal adalah agen Barat di bidang budaya (tsaqâfah) yang berupaya memojokkan ideologi Islam sekaligus menyanjung dan menyembah ideologi Kapitalisme-sekular.
AS merupakan salah satu negara yang menyediakan sarana dan prasaran kelompok ini, dengan menjadikan mereka sebagai tulang punggungnya dalam menghadapi gerakan syariah dan Da`wah islam. Sebagai contoh, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang dulu sempat kontroversial karena isinya melanggar syariah Islam, didanai oleh The Asia Foundation (TAF) sebesar 6 miliar rupiah. Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004 lalu, mengaku mendapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia.
TAF yang bermarkas di San Fransisco itu merupakan lembaga internasioanal yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia. Pada tahun 2003 kemarin, TAF mengucurkan bantuan sebesar 44 juta dolar dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya mencapai 28 juta dolar di seluruh wilayah Asia.
Ketiga: Politik belah-bambu atau stick and carrot. Mereka mengelompokkan umat Islam sehingga berpotensi untuk dipecah-belah. Misalnya, mereka membuat kutub modernis-tradisionalis, radikal-moderat, spiritual-politik, kultural-struktural, atau formalis-substansialis. Selanjutnya, mereka memberikan dukungan baik opini maupun dana bagi kelompok-kelompok liberal, modernis, moderat, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka menekan kelompok-kelompok yang mereka beri predikat fundamentalis, radikal, dan sebagainya. Mereka juga memberikan ruang politik, publik, dan ketokohan kepada mereka yang pro Barat-AS sekaligus menyempitkan ruang politik dan publik bagi mereka yang pro syariah dan Da`wah islam; termasuk melakukan stigmatisasi terhadap ide syariah dan Da`wah islam—misalnya mengidentikkan gerakan syariah dan Da`wah islam sebagai sumber anarkisme dan berpotensi menyulut konflik horisontal di masyarakat.
Strategi ini termasuk salah satu yang direkomendasikan oleh riset Ariel Cohen kepada AS dalam menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan Da`wah islam. Kelompok liberal di Indonesia telah menjadi ujung tombak bagi strategi AS ini. Mereka mulai menabur fitnah untuk membenturkan Muhammadiyah dan NU dengan gerakan Islam yang memperjuangkan syariah dan Da`wah islam. Insiden Purwakarta dan tulisan-tulisan aktivis Liberal yang penuh dusta dan fitnah terus bermunculan. Targetnya membenturkan sesama kelompok Islam.
Keempat: Penggunaan kekuatan negara untuk melakukan pemberangusan. Dalam hal ini, Cohen juga merekomendasikan agar AS menguatkan kerjasama intelijen dengan Inggris, Rusia, Pakistan, Indonesia, dll untuk menghadapi gerakan Islam yang pro syariah dan Da`wah islam. Berdasarkan ide Cohen ini, hubungan militer menjadi sangat penting bagi AS untuk menjalankan strateginya.
Program-program semacam Pendidikan dan Latihan Militer Internasional (International Military Education and Training-IMET) tidak saja berguna untuk memastikan bahwa para calon pemimpin militer itu menganut nilai-nilai dan praktik-praktik militer Amerika, tetapi juga dapat meningkatkan pengaruh dan akses AS. Sebagaimana diketahui, AS mendukung penuh para penguasa diktator seperti Husni Mubarak di Mesir, Karimov di Uzbekistan, atau Musharaf di Pakistan untuk bertindak represif secara militer terhadap gerakan Islam yang pro syariah dan anti Barat.
Karena itu, mudah dipahami, mengapa AS sangat ambisius mengajak Indonesia untuk bergabung dalam Proliferation Security Initiative (PSI). Kunjungan berturut-turut dua petinggi AS dalam waktu berdekatan, yaitu Menlu AS Condoleeza Rice (14-15 Maret 2006) dan Menhan AS Donald Rumsfeld (6 Juni 2006), sama-sama berupaya untuk meyakinkan (baca: menekan) Pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam PSI. Sementara itu, Republika (26/7) memberitakan bahwa Jaksa Agung Abdul Rahman (Senin, 24 Juli 2006) telah melantik 32 anggota Satgas Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Lintas Negara (Transnational Organized Crime). Satgas ini dibentuk dengan dana hibah dari AS sebesar 750 ribu dolar.
Apabila intelijen, badan dan aparat negara telah mereka kuasai, tinggal menyulut apinya melalui LSM-LSM komprador. Melalui suatu peristiwa kecil saja oleh gerakan Islam, termasuk yang sebenarnya dirancang oleh mereka sendiri, sudah cukup bagi para aktivis LSM tersebut untuk mengeksposnya di media masa. Melalui berbagai opini yang diciptakan, mereka kemudian akan menuntut Pemerintah agar memberangus gerakan Islam tersebut. Itulah antara lain yang terjadi saat mereka menuntut pembubaran sejumlah ormas Islam seperti FPI dan HTI yang dipicu oleh kasus ‘pengusiran’ Gus Dur di Purwakarta, yang sebetulnya tidak pernah terjadi, sebagaimana diakui oleh Gus Dur sendiri. Penyesatan opini semacam ini akan turut diperkuat oleh lembaga-lembaga publik seperti lembaga penelitian, lembaga survei, dan sebagainya, yang memang telah menjadi lembaga mantel propaganda AS.
AS sebagai pemimpin hegemoni Kapitalisme di dunia saat ini, tidak akan pernah berhenti memerangi Islam dan kaum Muslim yang ingin menerapkan Islam secara kâffah. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi kaum Muslim untuk menyambutnya. Pertama, melakukan pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) untuk menentang ide mereka dan menyadarkan umat, yaitu membongkar kebobrokan ideologi Kapitalisme-sekular serta menjelaskan konsep Islam yang shahih dalam menyelesaikan berbagai masalah yang menerpa umat Islam saat ini; menyangkut politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan sebagainya.
Kedua, melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) untuk mendudukkan posisi mereka sebagai penjajah yang real dan yang telah menyengsarakan umat melalui ekonomi dan politik sekulernya di negeri-negeri Muslim.
Umat Islam juga harus menyadari bahwa LSM-LSM kelompok liberal yang eksis saat ini tidak lebih dari mesin politik untuk kepentingan penjajah AS dan sekutunya. Berkedok semboyan “memajukan atau mencerahkan Islam,” mereka berupaya menyeret generasi Muslim menjadi peluru mereka. Isu utama yang mereka angkat selalu disesuaikan dengan isu-isu yang diusung AS dan sekutunya. Sejumlah LSM liberal di negeri ini—bersama Asia Foundation, Heritage Foundation, dan Rand Corporation—gencar menyerang ide syariah dan Da`wah islam. Sementara itu, perilaku moral yang rendah seperti: menjamurnya pornografi dan pornoaksi di area publik, juga kesengsaraan ekonomi yang diakibatkan oleh rusaknya sistem ekonomi kapitalis, tidak direspon sebagai isu utama oleh mereka. Kucuran dana besar dari AS memang cukup ampuh untuk menciptakan para komprador yang makin mengering akal dan nuraninya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
( Kusworo Nursidik )

Fenomena Ideologi atau Ijtihad Palsu

(sebagai upaya me-mark up Syari'at Islam)

"Barangsiapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syaitan, maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan kebenaran dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk."
(QS Az-Zuhruf/43: 36-37)

"Pada akhir zaman akan muncul sekelompok orang yang berusia muda dan jelek budi pekertinya. Mereka berkata-kata dengan menggunakan firman Allah, padahal mereka telah keluar dari Islam seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tidak melewati tenggorokannya. Di mana pun kalian menjumpai mereka, maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di Hari Kiamat." (HR. Bukhari)
"Strategi pemusnah masal" yang dilakukan oleh syetan dilakukan melalui dua arah. Pertama, fitnah syubhat yang berupa wacana pemikiran dan ideologi yang berlawanan dengan theologycal truth. Inilah fitnah yang diusung oleh non-muslim, atau bahkan lewat orang muslim juga. Kedua, fitnah syahwat yang muncul dalam perilaku seksual. Jika seorang muslim terjangkit salah satu fitnah tersebut atau bahkan keduanya, ghirah, daya dan upaya memperjuangkan panji Islamnya akan lumpuh dan mati. Naudzubillahi min dzalik
Nabi Muhammad saw bersabda:
"Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya, maka akan ditolak." (Muttafaq `alaih).
Syetan beserta pasukan berani matinya senantiasa mencari-cari jalan lain untuk me-mark up syari'at dengan dalih taqorrub atau pendekatan diri kepada Sang Kholik dengan sedekat-dekatnya. Munculah istilah Hermeneutika, mereka mula-mula menginterpretasikan Al-Quran dan As-Sunnah dengan makna yang ta`wili (makna yang jauh), lalu menggunakan ro`yu (pendapat pikiran manusia), kemudian mengikuti perasaan nafsu dengan dalih firasat dari Allah. Huh..............bukan hanya sampai di situ, Allah SWT pun "dipaksa" oleh nafsu mereka untuk diaku merasuk ke dalam diri.
Oh, betapa kejamnya, dan betapa jauhnya kesesatan mereka, namun betapa tampak cantik dan manisnya mulut mereka, seolah-olah kita telah terhipnotis oleh stereotip mereka. Hingga jargon yang mereka sebut dengan "wihdatul wujud" bisa terkesan pas dan indah, yaitu menyatunya diri manusia dengan Allah SWT, dan menganggap dirinya telah sampai derajat suci. Hingga, seolah jargon itu justru satu ajaran yang paling tinggi dalam mendekatkan diri pada Allah.
Musuh-musuh Islam menggunakan segala macam cara yang terus-menerus dikembangkan dan direformasi, baik melalui eksternal yaitu vis to vis dengan kaum muslimin, maupun internal yaitu melalui pembusukan dari dalam. Misalnya yang dilakukan sepanjang sejarah perjuangan umat Islam semenjak dari negara pimpinan Nabi saw., lalu dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dinasti-dinasti lain, dan sampai yang terakhir, Utsmaniyah, yang berupa penyimpangan ideologi bahkan sampai penyimpangan moral.
Faktor Eksternal
Kerja sama zionisme dan salibisme (kristenisasi) internasional dalam menghadapi umat Islam, adalah sebagai usaha untuk memporak-porandakan kekuatan umat Islam di seluruh dunia.
Kita lihat bagaimana Belanda ketika menjajah Indonesia. Ketiga hal di atas (penjajahan, orientalisme, dan kristenisasi) menjadi suatu langkah kongkret atas usaha mereka yang berhasil memborgol, memenjarakan dan hampir menghukum mati umat Islam Indonesia. Mereka memperlakukan umat Islam sekehendaknya, hak asasi manusia dan kebebasan hanyalah impian, bagi yang menentang, dikenakan tuduhan ekstrim, fundamental, dan lain-lain.
Ketika penjajah sudah hengkang, peranan mereka digantikan oleh kaum intelek kita yang menjadi perpanjangan tangan para orientalis. Para orientalis berpendapat Al-Qur'an banyak diwarnai dengan kosa kata dan ajaran Yahudi-Kristen. Salah seorang yang pertama kali mengatakan bahwa Al-Qur'an dipengaruhi agama Yahudi adalah Abraham Geiger (1810-1874)1. Ia adalah seorang Intelektual, Rabbi, dan tokoh sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman2. Geiger mengikuti kompetisi masuk ke Universitas Bonn tahun 1832 dengan menulis sebuah essai dalam bahasa Latin3. Essai Geiger diseleksi Professor Georg B. F. Freytag dari Fakultas Oriental Studies, Universitas Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun4.
Mereka pun mengampanyekan paham dan ideologi mereka atas nama nasionalisme, modernisme, sekularisme, pluralisme, liberalisme, fundamentalisme, reaktualisasi, pribumisasi, dan semacamnya.( R. William Lidle, Islam, Politik, dan Modernisasi)
Di antara wacana-wacana itu, yang kini lumayan naik daun adalah Islam Liberal. Perkembangannya telah mendominasi para intelektual kita, paling tidak ada tiga nama besar pembawa gagasan paham ini di Indonesia: Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan Johan Effendi. (Greg Burton, Islam Liberal di Indonesia)
Presiden Amerika Richard Nixon menginventarisasi lima pemicu munculnya kaum fundamentalis dalam Islam. Pertama, mereka yang digerakkan kebencian terhadap Barat/anti-Barat. Kedua, mereka yang bersikeras mengembalikan peradaban Islam yang lalu. Ketiga, mereka yang bertujuan mengaplikasikan syariat Islam. Keempat, mereka yang mempropagandakan bahwa Islam adalah agama dan negara. Kelima, mereka yang menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun masa depan, mereka ini bukan orang-orang konservatif, namun cukup revolusioner.
Kata ijtihad sering dipahami keliru oleh para pengusung Sekularisme, Plurarisme dan Liberalisme. Menurut mereka, pintu ijtihad pada semua bidang tetap terbuka, termasuk dalam persoalan ilahiyat (teologi). Dalam buku "Kiprah dan Bahayanya" seorang aktifis JIL mengatakan, ijtihad atau yang mereka sebut penalaran rasional terhadap teks-teks keislaman adalah merupakan prinsip utama. Karena dengan itu dinilai Islam akan tetap dapat bertahan terus dalam segala cuaca.
Padahal istilah ijtihad digunakan oleh para ulama ahli hukum saat memecahkan hukum yang dalilnya dengan jelas belum ditemukan didalam Al-Qur'an dan As-sunnah. Hal ini berdasarkan riwayat dari hadist Nabi: "Saat Mu'adz Bin Jabal akan diutus Nabi ke Yaman, Nabi bertanya kepada Mu'adz. Ringkasnya riwayat ditanyakan: dengan apa memutuskan suatu persoalan. Oleh Mu'adz dijawab: dengan kitab Allah. Lanjut Nabi: Apabila tidak didapatkan dalam kitab Allah. Jawab Mu'adz: Dengan sunnah Nabi. Tanya selanjutnya: Apabila pada keduanya tidak didapatkan, lalu dengan apa? jawab Mu'adz: Saya akan berIjtihad dengan Akalku."
Menariknya, kalangan JIL yang memaksudkan ijtihad dengan maksud yang berbeda. Karena menurut JIL ijtihad hanya dikesankan untuk mengadakan kegiatan berpikir tentang ajaran Islam. Tegasnya, disaat dalil Al-Qur'an dan As-sunnah ada dan cukup tegas, mereka masih tetap melakukan ijtihad. Jadi istilah ijtihad dirusak dan dipakai secara tersamar.
Faktor Internal
Memang rumit sekali permasalahan kita ini. Jika ditinjau lebih jauh, masyarakat muslim di berbagai pelosok Indonesia terpecah-pecah dalam berbagai sekat kelompok, organisasi dan model dakwah variatif lainnya, dengan klaim masing-masing kelompok paling benar. Realita itulah yang menyebabkan kekuatan dakwah tercecer.
Berbicara tentang dakwah berarti berbicara risalah Islam. Sudahkah ia terimplementasi dengan baik? Seberapa jauh pemahaman dai kita tentang metode dakwah Rasulullah? Seberapa banyak dai yang diterjunkan ke dalam masyarakat? Setingkat apa kualifikasi mereka? Bagaimana intensifitas dakwah mereka? Sejauh mana mereka dapat menghindarkan masyarakat muslim dari keterperosokan moral?
Budaya munafik, sikap ulama yang tidak berpihak kepada umat dalam bentuk pembodohan atas nama ketaatan, sikap para penguasa muslim dengan komitmen Islam yang lemah, sikap masa bodoh para pengusaha muslim dalam mengentaskan kemiskinan, dan tampilnya ulama-ulama kagetan yang bodoh tetapi sok pintar, serta berbagai macam penyakit umat yang sudah sangat kronis, pengobatannya membutuhkan waktu yang cukup lama dengan melibatkan semua elemen umat Islam yang terampil untuk bangkit menyelamatkan umat dari jurang kehancuran. Dari kezaliman menuju keadilan Islam, dari kebodohan menuju kesadaran Islam.
Solusi Problematika Umat: Menegakkan Islam dengan Cara Islam (Arif dan bijaksana)
Karena itu, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi muslim, umpamanya, menekankan perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom muslim menganalisis, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka harus mengemukakakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah dengan kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dan seterusnya.
Tanggung Jawab Personal
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya. Yaitu "segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT". "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak maupun yang tersembunyi"5.
Teladan Rasulullah
Secara ringkas, kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam, yaitu sebagai berikut.
1. Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke Madinah.
2. Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian, beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian, beliau membangun masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-muslim.
3. Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar sampai 27 kali beliu berperang antara perang defensif dan ofensif (seperti Perang Tabuk).
Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun akidah yang benar sampai kesatuan langkah. Yaitu, menuju tegaknya kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh6.
Perlu disadari, tiada yang mau mendandani, memperbaiki atau memulihkan kembali Ummat Islam ini kecuali diri Muslimin sendiri. Dari sinilah tampak benar bahwa syari'at jihad itu wajib diamalkan/ dipraktekkan, baik secara fisik maupun secara mental dan pemikiran. Dan di situlah lahan luas untuk memperjuangkan agama Allah itu tersedia kapan saja, maka syari'at jihad itu pula yang menjadi bidikan utama dan pertama untuk mereka rusak. Marilah kita pahami dan aplikasikan syari'at jihad itu pada proporsinya, kita kembalikan Islam ini pada aslinya, dan kita amalkan semuanya itu lillahi Ta'ala. Insya Allah «strategi pemusnah masal» yang telah gencar-gencarnya ini akan bisa kita tanggulangi, dengan izin dan pertolongan dari Allah SWT. Ingatlah bahwa Allah SWT telah menegaskan, sehebat-hebatnya kekuatan syetan itu adalah lemah. Amin
Wallohu a'lam bi showab.
( Dani M. R. el-Bahree )




Konsep Ilmu Dalam Islam

Masalah pertentangan ilmu dan agama, sebenarnya tidak pernah dikenal dalam Islam. Kalau sekarang ini kita mendengar masalah pertentangan, sebenarnya bisa jadi hanyalah dikemukakan oleh orang-orang yang tidak memahami budaya Islam atau bisa juga telah dipengaruhi pemikiran Barat yang mengadopsi konsep dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Para cendekiawan muslim terdahulu tidak pernah melihat adanya hakekat ilmiyah yang bertentangan dengan agama, karena intelektualitas Islam telah dibentuk oleh al-Quran dan agama yang diturunkan untuk mendidik akal sehat dan membimbingnya ke arah memahami hakekat kauniyyah. Allah berfirman:"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya." (Yusuf: 2). Pemahaman tentang hakekat kauniyyah ini akan membawa akal untuk meyakini ilmu agama baik tentang Khalik dan hal-hal ghaib lainnya. Diantara ciri intelektualitas Islam, tidak membedakan antara ilmu dan agama seperti yang terjadi di Barat. Dalam Islam hampir tidak ada bedanya antara cakrawala ilmu dan cakrawala agama. Ilmu termasuk dalam agama dan agama adalah ilmu setelah dipadukan keduanya oleh Al Quran.
Ayat Al Quran yang pertama kali turun adalah: "Bacalah, dengan atas nama Tuhanmu Yang telah menjadikan. Dia Menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, Dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar Manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-'Alaq 1-5)
Wahyu al Quran dalam Islam dianggap sebagai ilmu. "Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. ( Thaahaa 114)
Al-Quran membuka agama dengan kunci ilmu yaitu membaca dan memasukkan iman kepada Allah dengan cara mengenalkan-Nya sebagai, Pencipta, Dzat Yang Maha Mengetahui, dan Yang mengajari Manusia dan dengan cara menanamkan kehebatan penciptaan manusia dari segumpal darah. Al-Quran mengaitkan hakekat pertama dalam agama yaitu Allah Pencipta dengan hakekat pertama dalam ilmu pengetahuan yaitu penciptaan alam dengan kekuasaan Allah dan ilmu-Nya.
Bukti lain bahwa Islam tidak membedakan antara ilmu dan agama adalah firman Allah: "Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-gais putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada pula yang hitam pekat. Dan demikian pula di antara manusia dan binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.( Fathir 27-28) Ayat tersebut terdapat cakupan obyek ilmu dalam terminologi modern yaitu alam material dan cabang-cabangnya, juga terdapat batasan ilmu dalam konsep modern.
Berbicara tentang metodologi penelitian ilmu, yaitu metode induktif dan deduktif, Al quran telah mengemukakan sebagai berikut: Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikan
lah bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Ankabut 20).
Jadi ilmu dalam terminologi modern adalah Al-Quran yang cakupannya, obyeknya dan metodenya adalah wahyu. Dalam konsepsi Al Quran wahyu dianggap ilmu, karena wahyu merupakan ilmu yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, bukan hasil usaha pikiran manusia dalam menyimpulkan hukum-hukum alam. Barangkali di sini letak perbedaan ilmu dalam pandangan al-Quran dengan ilmu dalam konsepsi modern. Sebab, dalam Terminnologi ilmu modern wahyu tidak termasuk dalam cakupan ilmu.
Diantara bukti bahwa obyek ilmu dan obyek agama adalah satu, Al-Quran menjadikan akal pikiran sebagai sandaran utama dalam masalah keimanan kepada Allah SWT dan mengetahui sifat-sifatNya, sebagai mana para ilmuwan materialis bersandar kepada akal pikiran untuk memahami alam, mengkonklusikan hukum-hukumnya dan menyingkap rahasianya. al-Quran menjelaskan bahwa alam material yang kita lihat merupakan bagian dari 'arsy allah Yang Maha Agung.
Kita bisa menyaksikan kekuasaan-Nya dengan mata telanjang dan bisa meyakini wujud-Nya secara pasti setelah akal menetapkan wujud Allah dan wahdaniyat-Nya yang tercermin dari alam ciptaan-Nya. Seseorang yang meneliti alam dan tidak bisa menyimpulkan wujudullah Yang maha Esa tidak bisa disebut sebagai pemikir atau cendekiawan dalam pandangan al-Quran.
Al-Quran telah menjadikan akal sebagai asas iman dalam agama, sebagaimana Juga dasar ilmu adalah akal pikiran, al-Quran juga bersandar pada akal untuk menyampaikan hakekat ke dalam jiwa. Allah berfirman dalam surat Yusuf yang artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa al-Quran yang berbahasa Arab agar kamu memahaminya."
Dengan mengamati ayat-ayat al-Quran, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa ilmu dalam konsep al-Quran terbagi kedalam:
1. Ilmu pengetahuan yang didapat dengan usaha manusia. Ilmu ini adalah ciri istimewa yang dianugerahkan Allah kepada manusia, yang juga disebut hukum akal. Suatu ilmu yang didasarkan atas kemampuan akal untuk menetapkan sesuatu berdasarkan bukti dan dalil. Contohnya; ilmu pasti, keyakinan akal tentang adanya Allah Pencipta dst. Ilmu macam ini diisyaratkan oleh al-Quran: "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan demikian. Tak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha berkuasa lagi Maha Bijaksana." (Ali 'Imron 18) Dalam ayat lain disebutkan: "Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami iman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran daripadanya melainkan orang-orang yang berakal." (Ali 'Imron 7) Maksud ayat tersebut adalah bahwa segala sesuatu itu datang dari Allah dan telah pasti bersifat ilmiyah yang harus dipercayai oleh akal. Ilmu seperti ini diisyaratkan juga dalam ayat lainnya: "Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?. Sesungguhnya orang berakallah yang dapat menerima pelajaran."(Surat Az-zumar:9) Ilmu macam ini merupakan derajat tertinggi yang diberikan kepada menusia. Karena ilmu ini telah menjadikannya sebagai saksi, bersama Allah dan para malaikat-Nya, atas suatu hakekat ilmiyah, diniyah dan hakekat alam, berupa keesaan Allah, keagungan-Nya dan kebijaksanaan-Nya.

2. Ilmu hasil eksperimen di alam dunia ini dan ilmu hasil renungan terhadap semua ciptaan Allah swt. Ilmu ini dicerminkan oleh ayat 27 & 28 surat al-Fathir yang telah disebutkan di atas. Juga diisyaratkan oleh ayat lain, yaitu: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasmu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui."(Ar-Ruum 22). Dalam ayat lain dinyatakan: "Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan didarat dan dilaut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui." (Al An'am 97)
Memang, ilmu macam pertama menurut konsepsi al-Quran yaitu hukum akal, yang pada realitanya adalah sendi dari ilmu yang dihasilkan lewat eksperimen. Karena hukum akal ini dipergunakan oleh pikiran untuk mengetahui hakekat-hakekat nyata, mengetahui hubungan segala sesuatu, mengklasifikasikannya dan mengambil hukum-hukum alam yang terkandung di dalamnya.

3. Ilmu yang didapat para Nabi lewat wahyu Ilahi. Ilmu ini tidak didapat lewat mengolah otak untuk mengetahui hakekat sesuatu. Jadi ilmu macam ini merupakan anugerah ilmu Ilahi tentang berbagai hakekat yang dilimpahkan ke dalam hati seorang Nabi. Sebagiannya berupa hakekat ghaib yang tidak bisa disentuh akal manusia, seperti berita kebangkitan manusia, hari kiamat, hisab, surga, neraka, malaikat dsb. Dan sebagian lain berupa hakekat dari dunia eksperimen, kejadian- kejadian serta hukum-hukum dan perundang-undangan yang ada pada umat-umat terdahulu atau berita-berita yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ilmu macam ini disiratkan dalam ayat 114 dari surat at-Thaahaa yang telah disebutkan di atas. juga diisyaratkan oleh ayat 65 surat al Kahfi:"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
Ilmu yang disiratkan ayat ini merupakan ilmu menyingkap kejadian-kejadian masa mendatang sebelum terjadinya dan ilmu meramalkan sesuatu kejadian baik atau buruk. Allah berfirman: "Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhamad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelum ini." (Huud 49)
Termasuk dalam ilmu ini adalah ilmu tentang ta'wil mimpi. Allah telah menyatakan dalam surat Yusuf: "Dan demikianlah Tuhanmu memilih kamu untuk menjadi nabi dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'wil mimpi-mimpi.(Yusuf 6) Dalam ayat lain disebutkan: "Ya Tuhaku, sesungguhnya engkau talah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'wil mimpi." (Yusuf 101)

Untuk menunjukkan konotasi ilmuwan, cendekiawan, atau pemikir, al-Quran menggunakan beberapa istilah yaitu; 'ulama, ulil albab, ulin nuha dan ulil abshar. Kata-kata ulama disebutkan 2 kali, ulil albaab disebutkan 15 kali, ulin nuhaa disebutkan 2 kali dan ulil abshar disebutkan 3 kali.
Dari pengertian etimologis, nampaknya kata-kata ulama dan ulil albab saja yang paling tepat untuk menunjukkan konotasi ilmuwan atau cendekiawan muslim. Kata-kata ulama merupakan sinonim ulil albab. Bila kita teliti konotasinya dalam kontek Qurani, akan dapat mengambil kesimpulan bahwa ulama atau ulil albab adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan akal, ketajaman berfikir, tanggap terhadap ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Quraniyah dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaannya.
Kalau kita mengamati surat al-Maidah ayat 100, at-Thalaq ayat 10, al-Baqarah ayat 179 dan 197, kita dapat menyimpulkan sifat global yang dituntut dari ulil albab, yaitu bertakwa kepada Allah SWT. Sedangkan ciri-ciri terurai bagi ulil albab dapat kita teliti pada ayat 190-191 dari surat al-'Imron, ayat 17 -18 dari surat az-Zumar, dan ayat 19-24 dari surat al-Ra'd. Dari ayat-ayat tersebut kita dapat menyimpulkan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap ilmuwan muslim yaitu antara lain:
1. Senantiasa menyebut nama Allah swt di kala berdiri, duduk, berbaring, sholat dan kondisi lainnya.
2. Senantiasa merenungi penciptaan langit dan bumi.
3. Menjauhi penyembahan thoghut, syetan atau segala yang disembah selain Allah swt. Mengembalikan segala urusan kepada Allah swt dan memurnikan ibadah kepada-Nya. Senantiasa mengikuti perkataan yang paling baik kemudian langsung mengamalkannya. Memenuhi janji Allah swt yaitu mengakui-Nya sebagai "RABB"
4. Tidak merusak perjanjian umum yang mereka kukuhkan antara mereka dan perjanjian antara Allah swt dan hamba-Nya.
5. Menghubungkan apa yang diperintahkan Allah swt agar menghubungkannya seperti silaturrahmi dsb.
6. Takut kepada Allah swt dan keagungan-Nya.
7. Takut kepada hisab yang buruk di hari kiamat.
8. Sabar menghadapi semua kesulitan, sabar melaksanakan kewajiban dan sabar menghadapi ujian.
9. Memelihara shalat yang wajib.
10. Menafkahkan harta di jalan Allah swt.
11. Menolak kejahatan dengan kebaikan.
Wallahu a'lamu bis showab
( Muhammad Khoirin )


IKMLIBYA

IKMLIBYA