<$BlogItemBody>

Monday, November 20, 2006

Strategi AS Membendung Gerakan Islam

Watak dasar negara-negara yang berideologi Kapitalisme adalah menyebarkan sekularisme. Metodenya berupa penjajahan (imperialisme), yaitu pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi kepada bangsa-bangsa yang dikuasainya untuk dieksploitasi. Dalam prakteknya, konsep dan metode politik tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk garis politik (khiththah siyâsiyah) dan strategi politik (uslûb siyâsî). Garis politik adalah politik umum yang dirancang guna mewujudkan salah satu tujuan yang dituntut oleh penyebaran ideologi atau metode penyebaran ideologi. Adapun strategi politik adalah berbagai cara yang diterapkan untuk mendukung perwujudan atau pengokohan garis politik.
Penyebaran sekularisme akan menjadi jalan paling mulus bagi AS untuk melanggengkan hegemoninya, khususnya di negeri-negeri Muslim. Oleh karena itu, AS terus berupaya dengan segala cara untuk memadamkan gerakan Islam yang mengusung agenda syariah dan Da`wah islam. Pasalnya, agenda demikian akan menjadi tembok penghalang yang kokoh bagi keberlangsungan dominasi AS.
Beberapa strategi sistematis AS untuk membendung gerakan Islam tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, isu demokratisasi dan HAM. Suatu konsekuensi logis bagi gerakan Islam yang memperjuangkan tegaknya syariah dan da`wah islam untuk menolak demokrasi. Sebab, standar nilai yang berasaskan demokrasi berbeda secara diametral dengan standar nilai yang disandarkan pada akidah dan syariah Islam. Dalam hal ini, AS berharap bahwa apabila masyarakat berhasil menerima ide demokrasi dan HAM maka akan tercipta kutub perlawanan dari masyarakat sendiri terhadap gerakan Islam tersebut. Dengan begitu, akan terjadi proses pengasingan secara sistematis terhadap gerakan Islam yang menolak sistem demokrasi.
Karena itu, AS telah menyebarkan ide demokrasi melalui berbagai sarana seperti pendidikan, media massa, dan lainnya. Mereka menghiasinya dengan berbagai modifikasi supaya bisa memasarkannya di tengah-tengah kaum Muslim. Dengan begitu, sifat asli demokrasi sebagai paham yang menggantikan Allah—sebagai Zat Yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu—berhasil diubah. Targetnya, kaum Muslim bisa menerima bahwa hukum syariah atau halal dan haram itu bisa diambil dari manusia atas nama demokrasi, dan bukan diambil dari Tuhan manusia; Allah.
Kedua, penghancuran pemikiran Islam lewat gagasan sekularisasi dan liberalisasi. Saat ini, di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim makin marak lembaga-lembaga kajian yang mengumandangkan gagasan sekularisasi dan liberalisasi. Secara ideologis, kelompok liberal ini bertujuan untuk menundukkan Islam pada peradaban dan ideologi Barat dengan cara merayu umat agar mau mengikuti peradaban Barat. Pada perang ideologi ini, kelompok liberal adalah agen Barat di bidang budaya (tsaqâfah) yang berupaya memojokkan ideologi Islam sekaligus menyanjung dan menyembah ideologi Kapitalisme-sekular.
AS merupakan salah satu negara yang menyediakan sarana dan prasaran kelompok ini, dengan menjadikan mereka sebagai tulang punggungnya dalam menghadapi gerakan syariah dan Da`wah islam. Sebagai contoh, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang dulu sempat kontroversial karena isinya melanggar syariah Islam, didanai oleh The Asia Foundation (TAF) sebesar 6 miliar rupiah. Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004 lalu, mengaku mendapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia.
TAF yang bermarkas di San Fransisco itu merupakan lembaga internasioanal yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia. Pada tahun 2003 kemarin, TAF mengucurkan bantuan sebesar 44 juta dolar dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya mencapai 28 juta dolar di seluruh wilayah Asia.
Ketiga: Politik belah-bambu atau stick and carrot. Mereka mengelompokkan umat Islam sehingga berpotensi untuk dipecah-belah. Misalnya, mereka membuat kutub modernis-tradisionalis, radikal-moderat, spiritual-politik, kultural-struktural, atau formalis-substansialis. Selanjutnya, mereka memberikan dukungan baik opini maupun dana bagi kelompok-kelompok liberal, modernis, moderat, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka menekan kelompok-kelompok yang mereka beri predikat fundamentalis, radikal, dan sebagainya. Mereka juga memberikan ruang politik, publik, dan ketokohan kepada mereka yang pro Barat-AS sekaligus menyempitkan ruang politik dan publik bagi mereka yang pro syariah dan Da`wah islam; termasuk melakukan stigmatisasi terhadap ide syariah dan Da`wah islam—misalnya mengidentikkan gerakan syariah dan Da`wah islam sebagai sumber anarkisme dan berpotensi menyulut konflik horisontal di masyarakat.
Strategi ini termasuk salah satu yang direkomendasikan oleh riset Ariel Cohen kepada AS dalam menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan Da`wah islam. Kelompok liberal di Indonesia telah menjadi ujung tombak bagi strategi AS ini. Mereka mulai menabur fitnah untuk membenturkan Muhammadiyah dan NU dengan gerakan Islam yang memperjuangkan syariah dan Da`wah islam. Insiden Purwakarta dan tulisan-tulisan aktivis Liberal yang penuh dusta dan fitnah terus bermunculan. Targetnya membenturkan sesama kelompok Islam.
Keempat: Penggunaan kekuatan negara untuk melakukan pemberangusan. Dalam hal ini, Cohen juga merekomendasikan agar AS menguatkan kerjasama intelijen dengan Inggris, Rusia, Pakistan, Indonesia, dll untuk menghadapi gerakan Islam yang pro syariah dan Da`wah islam. Berdasarkan ide Cohen ini, hubungan militer menjadi sangat penting bagi AS untuk menjalankan strateginya.
Program-program semacam Pendidikan dan Latihan Militer Internasional (International Military Education and Training-IMET) tidak saja berguna untuk memastikan bahwa para calon pemimpin militer itu menganut nilai-nilai dan praktik-praktik militer Amerika, tetapi juga dapat meningkatkan pengaruh dan akses AS. Sebagaimana diketahui, AS mendukung penuh para penguasa diktator seperti Husni Mubarak di Mesir, Karimov di Uzbekistan, atau Musharaf di Pakistan untuk bertindak represif secara militer terhadap gerakan Islam yang pro syariah dan anti Barat.
Karena itu, mudah dipahami, mengapa AS sangat ambisius mengajak Indonesia untuk bergabung dalam Proliferation Security Initiative (PSI). Kunjungan berturut-turut dua petinggi AS dalam waktu berdekatan, yaitu Menlu AS Condoleeza Rice (14-15 Maret 2006) dan Menhan AS Donald Rumsfeld (6 Juni 2006), sama-sama berupaya untuk meyakinkan (baca: menekan) Pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam PSI. Sementara itu, Republika (26/7) memberitakan bahwa Jaksa Agung Abdul Rahman (Senin, 24 Juli 2006) telah melantik 32 anggota Satgas Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Lintas Negara (Transnational Organized Crime). Satgas ini dibentuk dengan dana hibah dari AS sebesar 750 ribu dolar.
Apabila intelijen, badan dan aparat negara telah mereka kuasai, tinggal menyulut apinya melalui LSM-LSM komprador. Melalui suatu peristiwa kecil saja oleh gerakan Islam, termasuk yang sebenarnya dirancang oleh mereka sendiri, sudah cukup bagi para aktivis LSM tersebut untuk mengeksposnya di media masa. Melalui berbagai opini yang diciptakan, mereka kemudian akan menuntut Pemerintah agar memberangus gerakan Islam tersebut. Itulah antara lain yang terjadi saat mereka menuntut pembubaran sejumlah ormas Islam seperti FPI dan HTI yang dipicu oleh kasus ‘pengusiran’ Gus Dur di Purwakarta, yang sebetulnya tidak pernah terjadi, sebagaimana diakui oleh Gus Dur sendiri. Penyesatan opini semacam ini akan turut diperkuat oleh lembaga-lembaga publik seperti lembaga penelitian, lembaga survei, dan sebagainya, yang memang telah menjadi lembaga mantel propaganda AS.
AS sebagai pemimpin hegemoni Kapitalisme di dunia saat ini, tidak akan pernah berhenti memerangi Islam dan kaum Muslim yang ingin menerapkan Islam secara kâffah. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi kaum Muslim untuk menyambutnya. Pertama, melakukan pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) untuk menentang ide mereka dan menyadarkan umat, yaitu membongkar kebobrokan ideologi Kapitalisme-sekular serta menjelaskan konsep Islam yang shahih dalam menyelesaikan berbagai masalah yang menerpa umat Islam saat ini; menyangkut politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan sebagainya.
Kedua, melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) untuk mendudukkan posisi mereka sebagai penjajah yang real dan yang telah menyengsarakan umat melalui ekonomi dan politik sekulernya di negeri-negeri Muslim.
Umat Islam juga harus menyadari bahwa LSM-LSM kelompok liberal yang eksis saat ini tidak lebih dari mesin politik untuk kepentingan penjajah AS dan sekutunya. Berkedok semboyan “memajukan atau mencerahkan Islam,” mereka berupaya menyeret generasi Muslim menjadi peluru mereka. Isu utama yang mereka angkat selalu disesuaikan dengan isu-isu yang diusung AS dan sekutunya. Sejumlah LSM liberal di negeri ini—bersama Asia Foundation, Heritage Foundation, dan Rand Corporation—gencar menyerang ide syariah dan Da`wah islam. Sementara itu, perilaku moral yang rendah seperti: menjamurnya pornografi dan pornoaksi di area publik, juga kesengsaraan ekonomi yang diakibatkan oleh rusaknya sistem ekonomi kapitalis, tidak direspon sebagai isu utama oleh mereka. Kucuran dana besar dari AS memang cukup ampuh untuk menciptakan para komprador yang makin mengering akal dan nuraninya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
( Kusworo Nursidik )

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home