<$BlogItemBody>
Read more!

Friday, October 27, 2006

Kembali ke Fitrah

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui"

Ramadhan demi Ramadhan telah berlalu, tak terasa kita telah menyempurnakan bilangan puasa di bulan Ramadhan kali ini, momentum muhasabah yang hanya datang setahun sekali. Puasa sendiri bukanlah suatu hal baru bagi kita atau umat sebelum kita. Sebuah kontinuitas dan kesatuan ajaran kebenaran dalam agama-agama samawi dalam keyakinan pada hal ghaib. Bagi agama Islam sendiri, puasa bukan saja menyadarkan akan kehadiran Allah SWT dalam kehidupan ini, namun juga merupakan sebuah "proses penyucian diri" secara bertahap. Seorang sastrawan Italia Dante Alighieri (1265-1321) dalam buku syairnya Divina Comedia mengambarkan bahwa manusia memulai kehidupan dalam alam paradiso, kebahagiaan karena dalam Islam manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun dalam proses perjalanannya di dunia ia mengotori kesucian dirinya sehingga menjerumuskannya pada kedzoliman, yang disebut dengan alam inferno, kesengsaraan (QS.10:44).

"
Manusia sebagaimana digambarkan Al-Quran sebagai makhluk yang sebaik-baik bentuk, grand design (QS.95:4). Namun manusia dari satu sisi mempunyai potensi untuk lemah karena mengikuti hawa nafsunya (QS.4:27) dan berpikir pendek karena lebih suka akan gemerlap dunia yang semu (QS.75:20). Hal inilah yang menyeret dan menjerumuskannya ke alam inferno, kedzoliman. Di sisi lain, sebagai khalifah fii al ardli manusia juga dibekali hati nurani dan akal yang senantiasa mengontrol dan menyadarkan akan kesucian manusia akan fitrah itu. Modal primodial dari Allah sebagai obat dan penerang hidup dari kegelapan akan kebaikan dan keburukan, yang tanpanya akan menjerumuskannya ke tempat yang paling rendah (QS.95:5) bahkan lebih rendah dari binatang (QS.25:44).

Nah, Ramadhan yang diibaratkan sebagai alam purgatorio merupakan rahmat yang diberikan Allah bagi manusia untuk menjalani proses penyucian diri yang tentunya diiringi tobat dengan harapan ia mampu mengembalikan kesuciannya dari noda kedzoliman dari bulan-bulan sebelumnya. Dengan berpuasa, manusia akan melatih dirinya untuk senantiasa menahan segala godaan yang membatalkan puasanya sehingga kesuksesan dalam proses ini akan mampu mengantarkan dirinya kembali kepada kesucian, fitrah.

Dalam Islam, makna atau hikmah ibadah tidak dapat dilepaskan dari tiga aspek yaitu horizontal, vertikal dan aspek diagonal-frontal. Ketiga aspek ini tidak bisa dilihat secara parsial tetapi harus dipandang secara integral, utuh dan menyeluruh. Demikian pula ibadah puasa. Kewajiban berpuasa hendaklah disikapi secara multi dimensional penuh keterpaduan dan paling tidak mencakup aspek horizontal dan vertikal. Dimensi vertikal dalam berpuasa terasakan dengan keyakinan hadirnya Allah SWT yang senantiasa menyertainya. Sedangkan dimensi horizontalnya, adanya anjuran untuk membayar fidyah (ganti) kapada fakir miskin bagi yang sakit (QS.1:184). Begitu pula perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah dan zakat mal bagi yeng telah mencapai nasabnya, termasuk bagian dalam proses ini. Zakat bukan hanya sebagai sarana menyucikan diri secara personal, namun ia mampu menumbuhkan empati sosial yang secara makronya ia mempunyai pesan kemanusian universal dalam pengentasan kemiskinan, dengannya kontak dan tatatan sosial terbangun sehingga sebuah kebahagiaan pun tidak dimonopoli satu atau dua individu an sich.

Inilah Islam agama fitrah yang "turun" dari langit, namun tidak melepaskan nilai-nilai kemanusiaan sehingga ajaran-ajaran Nya dapat dibumikan untuk dapat dirasakan dan diambil manfaatnya bagi umat manusia. Bila kita melewati hari demi hari dalam "training spiritual" yang mengajarkan kita akan kepekaaan rohani, nurani dan intuisi dalam mengarungi dan memaknai kehidupan fana ini dengan amalan-amalan yang penuh istigfar maka Allah akan mendatangkan hidayah-Nya pada hambanya. Oleh karena itulah kita diperintahkan untuk bertakbir mengagungkan asma Allah sebagai ungkapan rasa syukur kita, wali tukmilu al 'iddata wali tukabbiru Allaha 'ala ma hadakum la'allakum tasykurun. (QS. 1:185)

Hari ini, hari raya Idul Fitri hari kemanusiaan universal yang suci, hari kebebasan dan kesucian dari dosa. Pada hari ini manusia kembali ke fitrah menjadi pribadi yang "optima forma". Hari kebahagiaan akan kesuksesan kita dalam menjalani proses penyucian diri di bulan Ramadhan. Namun apakah kita telah betul-betul telah sukses dalam menjalani proses tersebut sehingga kita layak disebut orang-orang menang. Apakah masih tersisa bercak-bercak dosa dalam diri kita? Atau kita hanya sekedar melalui hari-hari Ramadhan sebagai suatu tradisi ritual turunan saja yang hanya akan mengantarkan kita kepada keshalehan formal, formal piety.

Di hari ini, kita kembali pada orang-orang terdekat, kerabat dan sanak famili dengan saling bersilaturrahmi dan memohon maaf. Hari silaturrahmi universal. Hari yang seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia menyambut gembira dengan takbir dan tahmid. Namun tak sedikit di antara kita menyambutnya dengan pakaian atau perabot yang serba baru tanpa mampu memahami makna-makna trasenden. Hari raya Idul Fitri bukanlah bagi orang yang pakaian dan perabotan rumah serba baru, tapi hari raya Iedul Fitri adalah bagi orang yang beriman dan ketakwaannya bertambah.

Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya "Rahasia Kesuksesan Meningkatkan Kecerdasan Emosi dan Spritual ESQ", mendahulukan bab zero mind processing dari bab-bab lainya sebagai kunci dalam memahami bukunya. Zero mind yang dimaksud adalah sebuah hati nurani yang universal ketika kita dalam kondisi fitrah (god spot). Proses penyucian hati nurani ini diibaratkan seperti kita sedang bercocok tanam yang apabila tanahnya tidak subur maka tanamannya pun akan rusak. Begitu pula sebuah ide, visi atau gagasan akan rusak tanpa adanya hati nurani yang suci. Ada tujuh pengaruh yang dapat menutupi fitrah ini, yaitu: prasangka, prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding dan literatur. Bila kita mampu menjernikan hati nurani dari ketujuh pengaruh tersebut maka jernih dan bebas pulalah pikiran dan god spot kita. Selanjutnya kita bangun mental, kepribadian dan sosial yang tangguh.

Alangkah tepatnya kalau kita jadikan hari raya ini sebagai tolak awal atau pondasi kita dalam mengarungi dan memaknai kehidupan -sebagaimana didahulukannya bab zero mind processing- ini dengan menutup lebaran-lembaran lama dan mulai mempersiapkan diri dengan menjaga kefitrian kita yang tentu juga dengan menghidupkan hati nurani, sehingga semangat hari raya dan bulan Ramadhan tetap menyertai kita.

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada" (QS.22:46).