<$BlogItemBody>

Thursday, March 01, 2007

Wacana Ekstremisme


Sikap ekstrem (yang kemudian menjadi 'ideologi' ekstremisme) dalam hal dan bentuk apa pun jelas bukan sesuatu yang menyenangkan dalam kehidupan. Sikap ekstrem dan ekstremisme hanya menimbulkan berbagai ekses dan dampak negatif dalam kehidupan individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan.
Ekstremisme dalam kehidupan agama dapat menimbulkan dampak lebih berbahaya lagi, karena agama juga melibatkan emosi yang bisa menjadi sangat bernyala-nyala. Dan ini pada gilirannya merusak harmoni dan kedamaian intra agama tertentu dan juga antaragama. Karena itu, Islam tidak menganjurkan sikap ekstrem dan ekstremisme; sebaliknya sangat menekankan 'jalan tengah', washatiyyah.
Banyak penyebab ekstremisme keagamaan, mulai dari pemahaman harfiah dan sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat Alquran misalnya, pertarungan politik dan kekuasaan, sampai kepada masalah-masalah internal lainnya dalam lingkungan umat Islam sendiri maupun pada tingkat negara-bangsa. Ekstremisme keagamaan juga bisa berakumulasi dengan faktor-faktor eksternal, seperti kemarahan pada dominasi dan hegemoni negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, terhadap Dunia Muslim.
Bagaimana Dunia Muslim dan Barat seharusnya merespons wacana dan aksi ekstremisme? Apa kerangka bersama yang dapat diadopsi masyarakat Muslim dan Barat untuk menghadapi ekstremisme keagamaan? Masalah-masalah ini yang dibahas dalam Konferensi Wilton Park, sekitar 100 km dari London, yang bertajuk: "Creating Common Platforms between Muslim and Western Societies to Tackle Extremist Discourse". Konferensi yang berlangsung pada 21-23 Februari 2007 itu diikuti sekitar 90 peserta dari Dunia Islam dan Barat.
Mike O'Brien, Solicitor General Inggris, dalam makalah pembukaannya menyatakan, orang-orang ekstremis memiliki agenda-agenda yang eksklusif dan sempit; mereka mendefinisikan ajaran dan nilai Islam secara sempit dan distorted untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik mereka. Lebih jauh, mereka mengklaim sebagai mewakili Islam; padahal sikap ekstrem dan kekerasan mereka tidak sesuai dengan Islam yang merupakan agama perdamaian. Karena itulah, masyarakat dunia yang cinta damai harus memperkuat nilai-nilai bersama (shared values) untuk bisa menghadapi wacana dan aksi kaum ekstremis.
Bagi Grand Mufti Mesir, Dr Ali Gomaa, ekstremisme keagamaan sesungguhnya tidak punya tempat dalam wacana, doktrin, dan praktik Islam. Sekali lagi, ini karena Islam sangat menekankan paradigma washatiyyah. Ekstremisme keagamaan di kalangan umat Islam, dalam pandangannya, haruslah diselesaikan melalui dialog, baik intra-Islam maupun antara Islam dan agama-agama lain. Dialog-dialog tersebut mestilah berdasarkan sikap ikhlas, jujur, dan niat baik. Pada saat yang sama, Dunia Muslim dan Barat harus tetap berusaha membangun 'jembatan' yang memungkinkan dapat tetap berlangsungnya dialog di antara kedua belah pihak. Inilah salah satu cara paling strategis untuk menyelamatkan masa depan generasi mendatang.
Dalam nada yang sama, Menteri Wakaf dan Urusan Islam Maroko, Ahmad Toufiq, menekankan pentingnya menegakkan kembali peran ulama yang sangat krusial dalam mengembangkan wacana dan paradigma washatiyyah di tengah kehidupan umat. Ulama semestinya terus-menerus memberikan perspektif yang kaffah (komprehensif) tentang Islam. Pada saat yang sama, ulama seyogianya terus memperkuat kerja sama dengan umara (pemerintah), karena kerja sama di antara kedua belah pihak pastilah menutup kemungkinan berkembangnya wacana dan praktik ekstremisme keagamaan.
Bagi saya sendiri yang mempresentasikan makalah tentang pengalaman Islam Indonesia menghadapi wacana dan praktik ekstremisme, ada beberapa respons yang dapat diadopsi negara-negara Muslim lainnya. Pertama-tama, pada tingkat ideologi negara bangsa, sepatutnyalah negara-negara Muslim lainnya mengadopsi apa yang bisa disebut sebagai deconfessional ideology yaitu ideologi yang didasarkan pada agama tertentu, tetapi pada saat yang sama bukanlah ideologi sekuler atau ideologi yang tidak bersahabat atau bahkan bermusuhan dengan agama. Ideologi Pancasila merupakan salah satu bentuk deconfessional ideology yang patut dipertimbangkan negara-negara Muslim lainnya.
Pada segi lain, mereka perlu pula melihat pengalaman Indonesia dalam penguatan demokrasi dan civil society. Demokrasi mestilah diperkuat dari dalam, bukan dipaksakan dari luar. Begitu juga pengalaman Islamic-based civil society yang direpresentasikan organisasi arus utama seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain dapat pula menjadi contoh yang baik bagi negara-negara Muslim lainnya dalam pengembangan Islam washatiyyah, demokrasi, good governance, kedamaian, dan harmoni dalam kehidupan bangsa dan negara.
(Azyumardi Azra )

NOBEL_CIHUY
International Islamic Call College
P.O. Box 86072 Tripoli Libya
HP. +218 926573028


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home